BAB I

Pendahuluan

Konfusianisme adalah jenis agama yang dibentuk oleh seperangkat ajaran dan doktrin yang dikhotbahkan oleh Tiongkok, Konfusius. Itu dianggap sebagai agama resmi Cina sampai abad ke-7 setelah Kristus. Konfusianisme memiliki pengaruh spiritual dan politik yang besar di Cina, Korea, Jepang, dan Vietnam. Konfusianisme Pendiri adalah Konfusius, juga dikenal sebagai kongzi, sebuah agama yang juga dikenal sebagai doktrin Ru jia atau sekolah penulis seperti yang dikenal oleh para sarjana. Kata konfusianisme dibuat oleh orang-orang kristen eropa yang memasuki Cina pada tahun 1860 dan pada awalnya digunakan untuk memberi label gagasan mereka tentang agama-agama non-kristen yang telah ditemukan di Cina. Pemikirannya sepanjang periode luas yang mencakup masa-masa mata air dan musim gugur serta kerajaan-kerajaan yang mengagumkan,

Konfusius harus memperhatikan harga misteri kehidupan untuk difokuskan energinya di dunia. Ketidakpedulian Konfusianisme terhadap misteri besar, baik karena atau akibat kurangnya imajinasi, adalah satu-satunya pendekatan yang konsisten dengan ketika Konfusius mengembangkan pemikirannya, masa ketika ada pergulatan politik yang hebat, moral, dan konflik intelektual. , ketika pesanan praktis tidak ada. Dia memutuskan untuk mencari solusi terhadap tantangan zamannya, cara untuk menyembuhkan masyarakat yang menurut sebagian besar orang yang hidup di dalamnya.

Simbol Konfusianisme yang paling terkenal adalah yin dan yang, yang terutama terkait dengan Taoisme, juga digunakan untuk mewakili Konfusianisme. Merupakan keseimbangan antara kekuatan yang berlawanan. Ideogram air Cina juga digunakan untuk mewakili Konfusianisme karena air dipandang sebagai sumber kehidupan oleh filosofi Cina dan Konfusius dulu mengatakan bahwa orang bijak bersukacita dalam air. Salah satu dewa yang sangat sedikit disebutkan dalam beberapa teksnya adalah Dewa Tertinggi atau Shangdi. Dia bukan dewa pasif karena dia bertugas mengirim mandat.

BAB II

1.      Pembahasan

Konfusianisme mengajarkan banyak hal dalam lini kehidupan bangsa China, termasuk dalam kehidupan politik. Namun, penulis hanya akan memfokuskan pada kehidupan politik era komunisme karena sebelum era komunisme, konfusianisme bertolak belakang dengan China saat ini. Dalam kehidupan politik China, konfusianisme mengatur filsafat politik yang ada dalam internal pemerintahan China dan pemimpin China.

Terdapat hubungan historis antara kegiatan politik China pada sekarang ini dengan kerajaan-kerajaan China di masa lampau. Hal itu dipengaruhi oleh konfusianisme yang menjadi nilai dasar China dalam menjalin hubungan politik. Konfusianisme beranggapan bahwa individu sebagai bagian penting dalam mencapai tujuan kelompok (Danardono, 1999: 8).

Di masa Perang Dunia terjadi, berbagai macam kekerasan, penganiayaan, perbudakan, dan penindasan terhadap sesama manusia meningkat tajam. Kerusakan dan kerugian yang didapatkan pada masa pasca Perang Dunia II menggiring para pemimpin Barat untuk memprakarsai sebuah institusi Internasional yang mampu mencegah terjadinya peperangan dan membawa negara di dunia yang porak-poranda pasca perang menuju tatanan dunia baru. Para pendirinya yakin bahwa apabila perang dapat dicegah, maka hak-hak individu masyarakat dunia akan terjaga. Franklin Delano Roosevelt, Presiden Amerika Serikat menyatakan di hadapan Kongres bahwa terdapat empat kebebasan esensial yang harus ditegakkan, yakni kebebasan berbicara dan berekspresi, kebebasan untuk berkeyakinan, kebebasan dari kemiskinan, dan kebebasan dari ancaman perang (Nickel, 1996).

 

2.      Relevansi Nilai Konfusianisme

Konfusianisme memegang peranan penting dalam perpolitikan China. Nilai-nilai yang sudah terinternalisasi menjadi budaya China menjadikan China dikenal dengan negara Konfusian. Sehingga, kebijakan politik yang diambil secara tanpa sadar merefleksikan nilai Konfusianisme China. Ideologi Partai Komunis China berbeda dengan konfusianisme. Para pakar Komunis China menginterpretasikan sejarah peran Konfusianisme dalam masyarakat China menggunakan teori Marxis tetang materialisme dialektis dan materialisme sejarah. Materialisme dialektis merupakan perpanjangan dari dialektis Hegel yang berfokus pada pemikiran manusia. Marxis kemudian menggunakan dialektis tersebut untuk menganalisa materi. Proses dialektis coba diterapkan Marxisme dalam menganalisa sejarah ekonomi Eropa, yang akan dijelaskan dalam materialisme sejarah. Oleh karena materialisme Marxis hanya berpaku pada ekonomi, maka materialisme sejarah menjelaskan tentang analisis ekonomi terhadap sejarah.

Marxis mengungkapkan bahwa analisis ekonomi sejarah telah menciptakan dua kelas masyarakat, yaitu kelas budak dan kelas pemilik modal. Kelas budak secara dialektis berubah menjadi masyarakat feodal, kemudian akan berubah menjadi masyarakat kapitalis dikarenakan pertentangan antara kelas pemilik tanah dan kelas penggarap tanah. Masyarakat kapitalis memunculkan pertentangan antara kaum kapitalis dan kaum proletar yang kemudian merubah masyarakat kapitalis menjadi masyarakat komunis. Marxis percaya bahwa masyarakat komunis merupakan strata kebenaran sosial tertinggi (Budiardjo, 2008).

Berdasarkan teori tersebut, para pakar menyimpulkan bahwa konfusianisme merupakan ideologi politik yang tumbuh dari hubungan kelas dalam masyarakat feodal dan ajaran moral Konfusian serta teoriteori politik digunakan untuk melayani kepentingan kelas penguasa, atau kelas pemilik budak, dengan membenarkan sistem kepemilikan yang memastikan dominasi kelas tersebut. Berangkat dari teori perjuangan kelas, Marxis menolak prinsip dasar konfusianisme tersebut. Ia bahkan enggan untuk menerapkan sistem pemerintahan yang bijak yang diusung oleh pemikir Konfusian, karena pemerintahan tersebut hanya menghendaki konsep hirarki yang kuat dan memenuhi unsur konfusianisme di atas (Krieger & Trauzettel, 1991: 236).

Setidaknya terdapat tiga periode yang menunjukkan orientasi politik China terkait konfusianisme. Pertama, kebijakan utama pada tahun 1949 hingga tahun 1964 disebut critical inheritance. Kebijakan tersebut bermaksud untuk menghapuskan nilai-nilai konfusianisme yang tidak sesuai dengan Marxisme, dan hanya mengadopsi nilainilai yang berguna untuk membangun masyarakat sosialis. Kedua, kebijakan revolusi budaya yang terjadi pada tahun 1965 hingga tahun 1976 memiliki orientasi politik yang disebut complete severance. Hal tersebut bertujuan untuk menghapuskan seluruh ajaran konfusianisme dari masyarakat China. Ketiga, kebijakan politik China kembali kepada critical inheritance (Krieger & Trauzettel, 1991: 235).

 

 

Dimulai dari reformasi agraria dan the Great Leap Forward. Reformasi agraria merupakan ekspansi tanah subur dan pertanian kolektif. Tanah subur yang berada di China telah digunakan sebagai area pemakaman, sehingga pemerintah perlu menggali dan memindahkan makam ke area lain. Sedangkan pertanian kolektif mengadopsi nilai-nilai komunisme yang bertumpu pada kebersamaan. Pemerintah mengelola tanah dan membagikannya secara merata kepada para petani, lalu petani tersebut dibebaskan untuk mengolah tanah tersebut. Tujuan utama dari reformasi agraria yaitu untuk memperoleh pemerataan dengan prinsip egalitarianism.

Berakhirnya reformasi agraria, pada tahun 1957, sekelompok penganut Marxis Ortodoks memperoleh persetujuan Mao untuk memulai program tiga tahun percepatan produksi baja, batu bara, dan tenaga listrik dalam negeri, yang dikenal sebagai the Great Leap Forward. Program yang mereka tawarkan adalah penggalian dan terasering gunung untuk membuka pertambangan, sehingga dibutuhkan pekerja dalam jumlah besar. Menjelang musim gugur 1958, jutaan orang berpartisipasi dalam proyek ini, banyak dari mereka yang berasal dari daerah pedesaan. Sekitar 600.000 tungku pembuatan baja disediakan dan sekitar 11 juta ton besi dan baja diproduksi (Kornberg & Faust, 2005: 32-33).

Akibat dari the Great Leap Forward yaitu pertanian menjadi terbengkalai. Disisi lain, produksi besi dan baja yang dihasilkan belum dapat digunakan sebagai bahan baku industri. China tidak memiliki peralatan dan tenaga ahli untuk memenuhi standar bahan baku industry tersebut. Sehingga, baja dan besi yang dihasilkan tidak sesuai dengan kebutuhan industri. Banyak pihak mulai mengkritisi proyek ini karena tidak sesuai dengan kebutuhan China saat ini. Setelah tiga tahun berjalan dari tahun 1958 hingga tahun 1961, the Great Leap Forward dinilai gagal karena menimbulkan kelaparan selama tiga tahun. Sebanyak jutaan orang meninggal karena kelaparan dalam kurun waktu tersebut (Ho, 2004: 58-61).

Kebijakan di atas mengindikasikan bahwa seseorang melakukan pembersihan pada ajaran konfusianisme. Ia tidak mencantumkan nilai konfusianisme dalam kebijakan Reformasi agraria dan the Great Leap Forward. Kedua kebijakan tersebut dijalankan sama persis dengan proses pembangunan di Soviet, sehingga hasilnya gagal karena tidak sesuai dengan budaya masyarakat China. Reformasi agraria menghapuskan kepemilikan pribadi terhadap tanah sementara konfusianisme mendorong terciptanya kepemilikan pribadi. Dalam sejarah China, konfusianisme menciptakan masyarakat agraria yang menekankan pada kerjakeras, penghematan, harmoni sosial, kepemilikan pribadi, dan pemerataan kekayaan,

Revolusi budaya berakhir dengan distorsi nilai China, serta menimbulkan kebingungan dalam masyarakat China apakah mereka harus tunduk kepada penguasa atau menjaga hubungan lainnya. Dalam ajaran konfusianisme, terdapat lima pola hubungan yang mengindikasikan terciptanya masyarakat yang harmonis yaitu polah hubungan antara penguasa dan rakyat, antara istri dan suami, antara anak laki-laki dan ayah, antara adik laki-laki dan kakak laki-laki, dan pola hubungan setara antarteman. Kelima pola tersebut menunjukkan pola hirarki bahwa posisi yang lebih rendah harus tunduk kepada posisi yang lebih tinggi.

Sementara yang terjadi di China, terdapat kebingungan dalam menjaga pola hubungan tersebut. Hal itu dikarenakan masyarakat harus tunduk pada Mao tapi mereka juga harus menghormati guru mereka. Sebab dalam revolusi budaya, banyak murid yang menentang guru karena ingin menghapuskan ajaran agama. Sehingga revolusi budaya gagal dijalankan di China. Berakhirnya revolusi budaya, ditandai dengan runtuhnya Gang of Four. Masyarakat China menginginkan gerakan pembaharuan dengan menghidupkan kembali budaya China termasuk filsafat China seperti Konfusianisme.

Pada akhirnya, ramalan konfusianisme benar terjadi bahwa perubahan dan kontinuitas akan selalu terjadi dalam sebuah pemerintahan. Periode ketiga memiliki orientasi pada penghidupan kembali critical inheritance. Sedikit mirip dengan periode pertama, critical inheritance bertujuan untuk menghilangkan elemen konfusianisme yang sudah tidak relevan dan mengadopsi nilai konfusianisme untuk mendidik para kader politik Partai Komunis China. Sebenarnya, prinsip konfusianisme digunakan untuk mengkampanyekan perbaikan perilaku politik tidak etis yang terjadi antara anggota dan kader Partai Komunis China, seperti menerima suap, mencari keuntungan pribadi, menyalahgunakan kekuasaan jabatan politik, berbuat curang baik atasan maupun bawahan, spekulasi dan pencatutan.

Pernyataan tersebut bermaksud bahwa penguasa harus mencotohkan etika pemimpin yang benar agar didikuti dan dihormati oleh masyarakatnya. Dengan kata lain, pemerintah mulai menyadari bahwa pendidikan moral diperlukan untuk mencapai kelangsungan pemerintahan yang baik. Sehingga mereka mulai mengadopsi nilai konfusianisme yang menekankan pada hubungan antara standar hidup material dan moralitas sosial. Hal tersebut mengindikasikan bahwa para pemikir China masih memegang teguh prinsip konfusiansime. Namun, tidak dapat digeneralisir bahwa nilai konfusianisme dapat diterima diseluruh daratan China. Kebanyakan komunis China akan mencoba mengadopsi konsep konfusianisme tertentu yang mereka yakini berguna untuk mengatasi kekurangan ideologi MaxistLeninis

Kebaikan China yang lain dapat dilihat ketika China mengalami kelaparan akibat the Great Leap Forward, China masih mengekspor bahan makanan ke luar negeri. lima prinsip yang menjelaskan etika kerjasama China dan negara-negara lain secara umum. Kelima prinsip tersebut adalah saling menghormati kedaulatan dan integritas teritorial, saling tidak agresi, tidak campur tangan dalam urusan internal, kesetaraan dan saling menguntungkan, dan kerjasama damai. Berdasarkan prinsip tersebut, dapat dibuktikan bahwa China tidak terlepas dari nilai-nilai konfusiansime dalam pola dan etika kerjasama yang dijalin (Yixin, 1981: 24-25).

Presiden China Xi Jinping dan jajarannya melihat ajaran Konfusius yang sudah membentuk kebudayaan dan peradaban China lebih cocok untuk menyelesaikan masalah di dalam maupun dalam membentengi negara dari pengaruh paham serta budaya Barat terutama masalah Hak Azasi Manusia, sistem demokrasi dan kebebasan berpendapat & berserikat, yang bisa mengancam monopoli kekuasaan PKC. Pada konferensi mengenai Konfusianisme yang untuk pertama kalinya diselenggarakan di Balai Agung Rakyat, Beijing pada tahun 2014, Xi Jinping menggarisbawahi penyelesaian problem di China dengan menggunakan kearifan lokal, sesuai dengan tradisi dan budaya China yang terkandung dalam ajaran Konfusius.

Pengakuan pemerintah tentang pentingnya kembali ke konfusianisme, telah mendorong banyaknya bermunculan sekolah-sekolah khusus yang mempelajari kitab-kitab ajaran Konfusius. Pusatnya berada di tempat kelahiran Konfusius di kota Qufu, Provinsi Shandong. Bangunan yang menjadi pusat pemujaan dan pengajaran Konfusius di Qufu telah ditetapkan UNESCO sebagai World Heritage Site (Peninggalan Sejarah Dunia). Sejumlah istilah yang digunakan untuk menamai sekolah-sekolah Konfusius antara lain: Rujia (School of the Scholars), Rujiao (Teaching of the Scholars), Ruxue (Scholarly Study), dan Kongjiao (Teaching of Confusius).

 

 

 

BAB III

Kesimpulan

Konfusianisme sangat berperan penting dalam sejarah Cina dan membentuk sejarah Cina itu sendiri. Konfusianisme sebagai suatu ide filsafat yang menekankan pada keteraturan sosial dan etika selama ribuan tahun telah mengakar dan melebur menjadi satu dalam  pranata masyarakat Cina. Nilai-nilai Konfusius sangat berakar dalam setiap ritual-ritual penting didalam keluarga dan kelompok kekerabatan.

Dalam tingkatan Kekaisaran, Konfusianisme memainkan peranan penting dalam mengatur pemerintahan karena semua para pejabat Negara adalah Konfusianis.Di mana untuk melegalkan hal tersebut diberlakukan sistem ujian Negara untuk memilih para pejabat mulai dari tingkat kabupaten, propinsi sampai Negara. Konfusianisme yang menekankan pada pengolahan diri dalam tingkat personal inilah yang dapat bertahan sekian lama dan dihormati serta menyebar ke seluruh tingkatan dan tetap ada dalam masyarakat Cina modern

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

            Danardono (1999). Berkenalan Dengan Critical Legal Studies

Ho (2004: 58-61). the Great Leap Forward gagal karena menimbulkan kelaparan

Yixin (1981: 24-25). Nilai-Nilai Konfusiansime Dalam Pola dan Etika Kerjasama

 

Referensi :

Dewi Hartati 2016, Konfusianisme Dalam Kebudayaan China Modern

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/18791/BAB%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y

http://paradigma.ui.ac.id/index.php/paradigma/article/download/25/19