Bab I

Pendahuluan

A.    Latarbelakang

Pernikahan dalam Islam merupakan anjuran bagi kaum muslimin. undang undang No. 1 Tahun 1974 dinyatakan bahwa: “Perkawinan an lahir batin antara seorang wanita dan seorang pria adalah suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga dan kekal berdasarkan) Yang Maha Esadang dalam Kompilasi Islam “perkawin yang sah menurut hukum Islam merupakan pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mits ghalidzan untuk komitmen yang taat kepada Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah

 

Dalam ilmu pengetahuan, perkawinan memiliki multi dimensi di antaranya sosiologis dan psikologis, perkawinan merupakan cara untuk melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi, karena tanpa adanya regenerasi, populasi manusia di bumi ini akan punah. Sedangkan secara psikologis dengan adanya perkawinan, kedua insan suami dan isteri yang semula merupakan orang lain kemudian menjadi satu. Mereka saling memiliki, saling menjaga, saling membutuhkan, dan tentu saja saling mencintai dan saling menyayangi, sehingga terwujud keluarga yang harmonis

Begitu jelas Islam menjelaskan tentang hakekat dan arti penting perkawinan, bahkan dalam beberapa undang-undang masalah perkawinan diatur secara khusus. Seperti, Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan lain-lain.

Dalam Undang- undang Perkawinan diartikan sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.  Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah akad yang sangat kuat miitsaaqan gholidon untuk mematuhi perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.[1]  Perkawinan ini dinyatakan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya[2] dan kepercayaannya itu.

Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut selektivitas.5 Artinya bahwa, seseorang ketika hendak melangsungkan pernikahan terlebih dahulu harus menyeleksi dengan siapa ia boleh menikah dan dengan siapa ia terlarang untuk menikah. Hal ini untuk menjaga agar pernikahan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada. Terutama bila perempuan yang hendak dinikah ternyata terlarang untuk dinikahi, yang dalam Islam dikenal dengan istilah mahram (orang yang haram dinikahi).

Dalam hal larangan perkawinan, al-Qur’an memberikan aturan yang tegas dan terperinci. Dalam surat Al-Nisa ayat 22-23 Allah SWT dengan tegas menjelaskansiapa saja perempuan yang haram untuk dinikahi. Perempuan itu adalah Ibu tiri, Ibu Kandung, Anak Kandung, Saudara Kandung, seayah atau seibu, bibi dari ayah, bibi dari ibu, keponakan dari saudara laki-laki, keponakan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui, saudara sesusuan, mertua, anak tiri dari isteri yang sudah diajak berhubungan intim, menantu, ipar (untuk dimadu) dan perempuan yang bersuami.

 

B.     Rumusan masalah

Adapun   rumusan  masalah  yang akan dibahas dalam penelitian ini ialah

1.      Apa saja syarat dalam hokum perkawinan

2.      Undang undang perkawinan 1974 dan komplikasi hokum islam

 

C.    Tujuan penelitian

Untuk mengetahui syarat dalam hokum perkawinan islam dan undang undang perkawinan islam

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab II

Pembahasan

 

A.    Pengertian perkawinan

Perkawinan yang dalam istilah agama disebut “Nikah” ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (mawaddah wa rahmah) dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah SWT

Perkawinan akan berperan setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan dalam pernikahan. Allah tidak menjadikan manusi seperti makhluk-makhluk lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan antara jantan dan betina secara bebas atau tidak ada aturan. Akan tetapi, untuk menjaga kehormatan dan martabat manusia, Allah memberikan tuntutan yang sesuai dengan martabat manusia

Bentuk perkawinan ini memberi jalan yang aman pada naluri seksual untuk memelihara keturunan dengan baik dan menjaga harga diri agar ia tidak laksana rumput yang dapat di makan oleh binatang ternak manapun dengan seenaknya

1.      Perkawinan Menurut Hukum Islam

Pengertian perkawinan ada beberapa pendapat yang satu dan lainnya berbeda. Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lain.

Menurut ulama Syafi’iyah adalah suatu akad dengan menggunakan lafal nikah atau zawj yang menyimpan arti wati’ (hubungan intim). Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau dapat kesenangan dari pasangannya. Suatu akad tidak sah tanpa menggunakan lafal-lafal yang khusus seperti akan kithabah, akad salam, akad nikah. Nikah secara hakiki adalah bermakna akad dan secara majas bermakna wat’un.

Sedangkan arti nikah menurut istilah adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dengan seorang wanita untuk menghalalkan suatu hubungan kelamin antara keduanya sebagai dasar suka rela atau keridhaan hidup keluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara yang diridhai Allah SWT Seperti yang telah dijelaskan oleh Zayn Al-din al-Malibari, mengenai pengertian nikah menurut istilah adalah:

وَشَرْعًا عَقْدٌ یَتَضَمَّنُ اِبا حَةَ وَطْءٍ بِلَفْظٍ انكََحٍ اَوْ تًزْوِ یْجٍ

Artinya :

“Menurut syara’ nikah adalah suatu akad yang berisi pembolehan berhubungan

intim dengan lafad nikah atau tazwij

 

Pengertian nikah itu ada tiga, yang pertama adalah secara bahasa nikah adalah

hubungan intim dan mengumpuli, seperti dikatakan pohon itu menikah apabila saling membuahi dan kumpul antara yang satu dengan yang lain, dan juga bisa disebut secara majaz nikah adalah akad karena dengan adanya akad inilah kita dapat menggaulinya. Menurut Abu Hanifah adalah Wati’ akad bukan Wat’un (hubungan intim). Kedua, secara hakiki nikah adalah akad dan secara majaz nikah adalah Wat’un (hubungan intim) sebalinya pengertian secara bahasa, dan banyak dalil yang menunjukkan bahwa nikah tersebut adalah akad seperti yang dijelaskan dalam al-Quran dan Hadist, antara lain adalah firman Allah. Pendapat ini adalah pendapat yang paling diterima atau unggul menurut golongan Syafi’yah dan Imam Malikiyah. Ketiga, pengertian nikah adalah antara keduanya yakni antara akad dan Wati’ karena terkadang nikah itu diartikan akad dan terkadang diartikan wat’un (hubungan intim)

 

B.     Rukun dan Syarat Perkawinan

Rukun dan syarat menentukan suatu perbuatan hukum, terutama yang menyangkut dengan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dari segi hukum. Kedua kata tersebut mengandung arti yang sama dalam hal bahwa keduanya merupakan sesuatu yang harus diadakan. Dalam suatu acara perkawinan rukun dan syaratnya tidak boleh tertinggal. Dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau tidak lengkap. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahwa rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada di luarnya dan tidak merupakan unsurnya. Syarat itu ada yang berkaitan dengan rukun dalam arti syarat yang berlaku untuk setiap unsur yang menjadi rukun. Ada pula syarat itu berdiri sendiri dalam arti tidak merupakan kriteria dari unsur-unsur rukun.

a)      Rukun nikah

Rukun nikah adalah sebagai berikut:

1)      Adanya calon suami dan istri yang tidak terhalang dan terlarang secara syar’i untuk menikah.

2)      Adanya ijab, yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali.

3)      Adanya qabul, yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya.

4)      Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.

5)      Dua orang saksi, adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu pernikahan. Hadits Jabir bin Abdullah Radhiyallahu Anhuma:

Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil. (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i).

 

b)     Syarat Nikah

Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh kedua mempelai tersebut adalah:

1)      Syarat bagi calon mempelai pria antara lain beragama Islam, laki laki, jelas orangnya, cakap bertindak hukum untuk hidup berumah tangga, tidak terdapat halangan perkawinan

2)      Bagi calon mempelai wanita antara lain beragama Islam, perempuan, jelas orangnya, dapat dimintai persetujuan, tidak terdapat halangan perkawinan

3)      Bagi wali dari calon mempelai wanita antara lain: laki-laki, beragama Islam, mempunyai hak perwaliannya, tidak terdapat halangan untuk menjadi wali

4)      Syarat saksi nikah antara lain minimal dua orang saksi, menghadiri ijab qabul, dapat mengerti maksud akad, beragama Islam dan dewasa.

5)      Syarat-syarat ijab qabul yaitu:

a)      Adanya pernyataan mengawinkan dari wali;

b)      Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai pria;

c)      Memakai kata-kata nikah atau semacamnya;

d)     Antara ijab dan qabul bersambungan;

e)      Antara ijab dan qabul jelas maksudnya;

f)       Orang yang terkait dengan ijab tidak sedang melaksanakan ikhram haji atau umrah;

g)      Majelis ijab dan qabul itu harus dihadiri oleh minimal empat orang, yaitu calon mempelai pria atau yang mewakilinya, wali mempelai wanita atau yang mewakilinya, dan dua orang saksi.

Sesudah pelaksanaan akad nikah, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat nikah berdasarkan ketentuan yang berlaku, diteruskan kepada kedua saksi dan wali. Dengan penandatanganan akta nikah dimaksud, perkawinan telah dicatat secara resmi dan mempunyai kekuatan hukum. Akad nikah yang demikian disebut sah atau tidak sah dapat dibatalkan oleh pihak lain.

C.    Perkawinan Dalam UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam

a.      Pencatatan Nikah

Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Dalam hal pernikahan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah, dapat diajukan isbat nikahnya ke Pengadilan Agama. Yang berhak mengajukan isbat nikah ialah suami atau istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu. Isbat nikah ini terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan

Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian

Ø  Hilangnya akta nikah

Ø  Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan

Ø  Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya UU Perkawinan No 1 tahun 1974

Ø  Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan

b.      Asas Monogami

Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :

 

Ø  Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

Ø  Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

Ø  Isteri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal 4 UUP, Pasal 57 KHI)

c.       Izin Poligami

Asas perkawinan adalah monogami dengan pembolehan poligami dengan syarat dan ketentuan yang ketat. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Kemudian Pengadilan memeriksa mengenai:

1.      Sah tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi antara lain istri tidak dapat  menjalankan kewajibannya sebagai istri, mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, dan istri tidak dapat melahirkan keturunan

2.      Ada tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tertulis. Apabila persetujuan itu lisan haruslah diucapkan di depan sidang Pengadilan

3.      Ada tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak dengan memperlihatkan antara lain; surat keterangan mengenai penghasilan yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau surat keterangan pajak penghasilan; atau surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan

4.      Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-istri dan anak-anaknya dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

5.      Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan. Pemeriksaan Pengadilan itu selambat-lambatnya  30 hari setelah diterimanya permohonan

d.      Syarat-Syarat Perkawinan

Tiap perkawinan di catat sesuai dengan peraturan-perudang-undangan yang berlaku, dengan beberapa syarat:

1.      Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat, dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. (Pasal 16 KHI)

2.      Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dalam hal penyimpangan ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita

3.      Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

4.      Dalam hal salah seorang dari kedua orangtua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

5.      Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

e.       Larangan Perkawinan

Perkawinan dilarang antara dua orang yang: (pasal 8 UUP)

Ø  Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

Ø  Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

Ø  Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

Ø  Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

Ø  Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

Ø  Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Misalnya seorang perempuan Islam dilarang menikah dengan pria non muslim

Ø  Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali mendapat izin dari pengadilan.

Ø  Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Ø  Wanita yang masih dalam masa tunggu (iddah) dengan pria lain

 

f.       Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan adalah upaya untuk merintangi/ menghalangi suatu perkawinan. Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.(Pasal 13 UUP) Pencegahan ini bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perudang-udangan (Pasal 60 KHI)

 

Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Di samping itu mereka juga berhak  mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya (Pasal 14 UUP)

 

Dalam undang-undang Perkawinan juga disebutkan barangsiapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, kecuali apabila perkawinan tersebut telah mendapat izin dari pengadilan

 

Pencegahan perkawinan juga dapat dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk apabila terjadi perkawinan yang dilakukan oleh pasangan di bawah umur, terkena larangan perkawinan, terikat dalam perkawinan, suami istri bercerai untuk kedua kalinya, dan tidak memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan. (Pasal 16 UUP )

 

Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

 

Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.

 

g.      Pembatalan Perkawinan

Pembatalan berasal dari kata batal, yaitu menganggap tidak sah, menganggap tidak pernah ada. Jadi pembatalan perkawinan berarti menganggap perkawinan yang telah dilakukan sebagai peristiwa yang tidak sah, atau dianggap tidak pernah ada.Pembatalan perkawinan adalah suatu upaya untuk membatalkan perkawinan. Perkawinan dapat dibatalkan, apabila:

1.      Perkawinan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat perkawinan (Pasal 22 UUP) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.

2.      Suami/istri yang masih mempunyai ikatan perkawinan melakukan perkawinan tanpa seijin dan sepengetahuan pihak lainnya (Pasal 24 UUP)

3.      Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum, dan pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. (Pasal 27 UUP)

4.      Salah satu pihak memalsukan identitas dirinya. Identitas palsu misalnya tentang status, usia atau agama.

 

h.      Hak dan Kewajiban Suami Isteri

Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga sakinah mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.  Dalam UU Perkawinan Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 dan dalam KHI Pasal 77 sampai Pasal 84,  diatur beberapa hak dan kewajiban suami isteri, yaitu:

1.      Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

2.      Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

3.      Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

4.      Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami isteri bersama.

5.      Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain.

6.      Suami wajib membimbing, melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

7.      Sesuai dengan penghasilannya, suami wajib menanggung nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi isteri, biaya rumah tangga, biaya pendidikan bagi anak.

8.      Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya, atau bekas istri yang masih dalam keadaan iddah

9.      Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang wajib memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang.

10.  Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

11.  Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

 

 

i.        Harta Benda dalam Perkawinan

Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing . Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Sementara di dalam Kompilasi Hukum Islam (Bab XIII tentang Harta Kekayaan dalam Perkawinan dari Pasal 85 – Pasal 97) mengatur tentang aturan yang berhubungan dengan gono-gini sebagai berikut:

1.      Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

2.      Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan. Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya.

3.      Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri, dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.  Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.

4.      Apabila terjadi perselisihan antara suami-isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

5.      Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun hartanya sendiri. Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.

6.      Harta bersama dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud. Harta bersama yang bewujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.  Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

7.      Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

8.      Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.  Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.  Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta isteri.

9.      Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.  Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau yang keempat.

10.  suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya. Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

11.  Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab III

Penutup

Kesimpulan

Dalam pandangan Islam perkawinan merupakan sebuah ikatan lahir batin yang kukuh antara dua insan manusia laki-laki dan perempuan. Yaitu ikatan yang sangat kuat atau mitsaaqon gholiidan. Berdasarkan pada penjelasan dari bab I sampai dengan bab III dapat disimpulkan bahwa:

Syarat syarat hokum perkawinan yang di atur dalam Dalam UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam yaitu Pencatatan Nikah, Asas Monogami, Izin Poligami, Syarat-Syarat Perkawinan dan lain lainnya

 

 

Daftar pustaka

muisumut 2019/10/23

Perkawinan Dalam UU No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam

https://www.muisumut.com/blog/2019/10/23/perkawinan-dalam-uu-no-1-tahun-1974-dan-kompilasi-hukum-islam/

 

Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan

UU Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007, hlm, 40.

 

UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Satria Effendi, “Analisis Fiqh” dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam,

Jakarta: Al Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, No.50 Thn,XII, Januari-Februari, 2001, hlm.

119

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty

Yogyakarta, 1989),

Slamet Dam Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), 298.

 

Zayn Al-din, Fathul Mu’in, 298.

Abd. Rahman, Fiqh ‘Ala Mazahib Al Arba’ah, Juz IV, 7.