BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Lahirnya BLBI tidak lepas dari krisis ekonomi dan moneter, terutama sejak pemerintah menerapkan sistem kurs mengambang terkendali (managed floating) dan mengambangkan nilai rupiah (free floating). Kebijakan moneter tersebut bertujuan untuk memberikan ruang gerak yang lebih luas pada pengendalian pengendalian sekaligus menyelamatkan cadangan. Namun ternyata kebijakan tersebut kemudian dilanjutkan dengan kebijakan moneter ketat untuk mendapatkan nilai rupiah, menciptakan rumor negatif pada dunia perbankan. Rumor yang beredar di masyaraka seperti rugi transaksi valas, kalah kliring, penculikan pemilik bank, dan larinya beberapa bankir ke luar negeri, menyebabkan terjadinya penarikan dana simpanan oleh nasabah. Mereka memindahkan dananya dari bank-bank swasta besar ke bank-bank pemerintah atau bank asing.

Salah satu kasus yang dapat menjelaskan kondisi perekonomian dalam

dasarwarsa terakhir tahun 2006 adalah skandal BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) antara utang, korupsi, dan globalisasi yang hingga kini tidak pernah selesai meskipun pemerintahan telah berganti. BLBI adalah skema program bailout (penalangan) utang perbankan (swasta dan pemerintah) untuk dialihkan menjadi beban pemerintah lewat penerbitan obligasi, program pemulihan krisis ekonomi yang dipaksakan oleh IMF melalui LOI bersama Bank Dunia dan ADB sejak tahun 1997. Semula BLBI bernama KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) yang bersifat ”kredit” diganti menjadi beresifat ”bantuan” sehingga tidak jelas lagi aspek pertanggungjawabannya. BLBI secara jelasnya adalah bantuan dana yang diberikan oleh BI (Bank Indonesia) kepada bank-bank yang

mengalami kesulitan likuiditas. Jadi merupakan utang bank-bank penerima kepada BI, akan tetapi melalui program penjaminan pemerintah hak tagih BI dialihkan kepada pemerintah. Untuk membayar hak tagih tersebut pada tahun terakhir 2006 pemerintah menerbitkan surat utang (obligasi) senilai Rp 164,53 trilyun dan juga menerbitkan surat utang untuk penyediaan dana dalam rangka program penjaminan senilai Rp 53,77 trilyun. Meskipun hakikatnya adalah pinjaman dengan prasyarat suku bunga, jangka waktu dan jaminan tetentu, pada akhirnya menjadi pengurasan uang negara yang diduga dilakukan baik oleh bank penerima maupun oleh pejabat-pejabat BI (Bank Indonesia). Kasus perampokan terbesar di dunia atas bank sentral yang sekaligus menjadi gambaran bahwa negara kita adalah korban terparah dari globalisasi.

 

B.     Rumusan masalah

Berdasarkan Latar Belakang yang sudah diuraikan, rumusan masalah yang dapat diambil adalah :

1.      kasus tentang bank yang mendapat bantuan pinjaman dari BLBI

2.      bank yang mendapat bantuan dari BLBI

3.      kasus bank yg masih berlanjut

4.      Sejauh mana pemerintah menyelesaikan kasus BLBI tersebut

 

C.    Maksud dan tujuan

Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut: Untuk mengetahui pengertian rumusan masalah. ... Untuk mengetahui fungsi rumusan masalah. Untuk mengetahui pengertian tujuan penelitian dan tujuan penelitian itu sendiri.

 

D.    Metode penulisan

dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode penelitian kepustakaan (library Research) yaitu suatu metode pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, diktat-diktat, jurnal dan literatur-literatur serta informasi-informasi lainnya yang berhubungan dengan penulisan makalah ini.

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian BLBI

BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia adalah suatu terminologi yang dimaksudkan untuk mengelompokan seluruh fasilitas bantuan likuiditas (liquidity support) dari bank Indonesia kepada perbankan untuk mengatasi kesulitan likuiditas dalam keadaan darurat sebagaimana yang diatur didalam  Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral.(www.bi.go.id,2004).

Menurut Prasetiantono,et al, dari Center for Financial Policy Studies(2000;18) pada garis besarnya BLBI terdiri atas lima jenis fasilitas yaitu:

1.      fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran, yaitu dalam hal terjadi mismatch antara penerimaan dan penarikan dana, baik dalam jangka pendek (fasilitas diskonto I) maupun jangka panjang (fasilitas diskonto II);

2.      fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka (OPT) sejalan dengan program moneter (SBPU lelang dan bilateral)

3.      fasilitas dalam rangka penyehatan (rescue) bank, kerdit likuiditas darurat (KLD) dan kredit sub ordinasi atau sub ordinated loan (SOL)

4.      fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan sistem pembayaran sehubungan dengan rush (penarikan cadangan wajib dan saldo negatif atau overdraft rekening bank di Bank Indonesia)

5.      fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan kepada perbankan Indonesia (dana talangan untuk membayar kewajiban luar negeri dalam rangka penjaminan oleh pemerintah).

Istilah BLBI dikenal sejak tanggal 15 januari 1998 sebagaimana ditegaskan pemerintah dalam Letter of Intent kepada International Monetary Fund (IMF) dimana didalamnya pemerintah menyatakan pentingnya bantuan likuiditas (liquidity support) Bank Indonesia kepada perbankan. Meskipun pengertian luas liquidity support itu meliputi juga kredit subordinasi, kredit likuiditas darurat serta fasilitas diskonto I dan II, namun BLBI yang diberikan dalam masa krisis ini hanya mencakup bantuan likuiditas kepada bank untuk menutup kekurangan likuiditas terutama yang berupa saldo debet, fasilitas diskonto, dan SBPU khusus serta dana talangan dalam rangka kewajiban pembayaran luar negeri.

B.     kasus tentang bank yang mendapat bantuan pinjaman dari BLBI

Kasus Korupsi BLBI dan penanganannya

Dana BLBI banyak yang diselewengkan oleh penerimanya. Proses penyalurannya pun banyak yang melalui penyimpangan-penyimpangan. Beberapa mantan direktur BI telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo.

Bank Ficorinvest: mantan presdir Ficorinvest, Supari Dhirdjoprawiro dan S. Soemeri divonis hukuman 1,5 tahun penjara oleh PN Jakarta Selatan pada tanggal 13 Agustus 2003. Saat ini masih bebas karena mengajukan kasasi.

Bank Umum Servitia: dirut Servitia, David Nusa Wijaya divonis 8 tahun penjara oleh MA pada tanggal 23 Juli 2003, sempat melarikan diri ke AS namun tertangkap di sana.

Bank Harapan Sentosa: Hendra Rahardja dihukum seumur hidup, tetapi melarikan diri ke Australia dan meninggal di sana, Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian, divonis 20 tahun, tetapi juga melarikan diri ke Australia.

Bank Surya: Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan, dihukum seumur hidup, tetapi melarikan diri ke Singapura. Pada Januari 2014, Adrian Kiki akhirnya diekstradisi dari Australia.

Bank Modern: Samadikun Hartono, divonis 4 tahun, melarikan diri. Pada April 2016, Samadikun tertangkap oleh intelijen Tiongkok dan kemudian diekstradisi ke Indonesia

Bank Pelita: Agus Anwar, Alexander PP dalam proses pengadilan, tetapi sudah melarikan diri.

Bank Umum Nasional: Sjamsul Nursalim, penyidikan dihentikan.

Bank Asia Pacific (Aspac): Hendrawan Haryono, mantan wakil dirut Aspac divonis 1 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Bank Indonesia Raya (Bank Bira): Atang Latif, melarikan diri ke Singapura sebelum kasusnya disidangkan

 

C.    Bank yang mendapat bantuan dari BLBI

BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.

Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun.

Penerima dana BLBI antara lain

1.      Agus Anwar    Bank Pelita

2.      Hashim Djojohadikusumo      Bank Papan Sejahtera Bank Pelita Istimarat

3.      Samadikun Hartono    Bank Modern

4.      Kaharuddin Ongko     Bank Umum Nasional

5.      Ulung Bursa    Bank Lautan Berlian

6.      Atang Latief   Bank Indonesia Raya

7.      Lidia Muchtar Bank Tamara

8.      Omar Putihrai  Bank Tamara

9.      Adisaputra Januardy   Bank Namura Yasonta

10.  James Januardy           Bank Namura Yasonta

11.  Marimutu Sinivasan    Bank Putera Multikarsa

12.  Santosa Sumali            Bank Metropolitan Bank Bahari

13.  Fadel Muhammad       Bank Intan

14.  Baringin MH Panggabean       Bank Namura Internusa

15.  Joseph Januardy          Bank Namura Internusa

16.  Trijono Gondokusumo            Bank Putera Surya Perkasa

17.  Hengky Wijaya           Bank Tata

18.  Tony Tanjung  Bank Tata

19.  I Gde Dermawan        Bank Aken

20.  Made Sudiarta Bank Aken

21.  Tarunojo Nusa Wijaya Bank Umum Servitia

22.  David Nusa Wijaya     Bank Umum Servitia.

 

D.    Kasus bank yg masih berlanjut

Pada krisis 1998 pemerintah melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) melakukan restrukturisasi perbankan. BLBI adalah skema bantuan yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia.

 

Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank. Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh 48 bank menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp138 triliun.

 

Dana BLBI banyak yang diselewengkan oleh penerimanya. Proses penyalurannya pun banyak yang melalui penyimpangan. Beberapa mantan direktur BI telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo.

 

E.     Pemerintah menyelesaikan kasus BLBI

Penyelesaian persoalan masalah Bantuan Luikiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dikaitkan dengan kasus korupsi, menuia sorotan dari sejumlah kalangan. Salah satunya pakar keuangan dan perbankan Eko Supriyanto.

Itu terkait dengan perkara Syafruddin Arsjad Temenggung selaku mantan Ketua BPPN yang didakwa merugikan negara Rp4,58 triliun akibat memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham BDNI tidak layak disidangkan.

Diejelaskan Eko sebagaimana dikutip dari rmol (JawaPos Grup), Pemerintah dinilai tidak adil karena menganggap penyelesaian masalah BLBI dikaitkan dengan korupsi. Padahal pemerintah sudah membuat kebijakan, siapa yang kooperatif mendapat insentif dan tidak boleh kena penalti.

Eko menjelaskan, pada masa 1997 tindakan pemerintah dalam menghadapi krisis perbankan dilakukan dengan prinsip out of court settlement yakni dalam bentuk Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan skema Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master Refinancing and Notes Issuance Agreement (MRNIA), dan Akte Pengakuan Utang (APU).

Eko mengingatkan kembali bahwa sejak pemerintahan Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri pemerintah telah membuat kebijakan penyehatan perbankan. Bahkan, di masa pemerintahan Soeharto dibentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada Januari 1998.

Kemudian program rekapitalisasi perbankan yang tujuannya untuk mengembalikan fungsi perbankan dilakukan ketika B.J Habibie berkuasa. Lalu di era Gus Dur terbentuklah Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan Keppres 177/1999 yang memberikan pedoman kepada BPPN.

Selanjutnya pada tahun 2000, disahkan UU No.25/2000 tentang PROPENAS yang antara lain memberikan landasan kebijakan untuk memberikan insentif kepada para obligor yang kooperatif dan pemberian pinalti kepada obligor yang tidak kooperatif.

Sejak tahun 2001, masih kata Eko, pemerintahan Megawati menetapkan kebijakan untuk melanjutkan penanganan dampak krisis ekonomi dan kondisi perbankan. Terutama terkait pengambilalihan aset obligor serta penjualan aset.

Kemudian di era pemerintahan yang sama legislatif mengeluarkan TAP MPR X/2001 dan TAP MPR VI/2002 yang mengamanatkan kebijakan MSAA dan MRNIA secara konsisten dengan UU Propenas.

 

Eko memberi contoh penyelesaian kewajiban pemegang saham melalui MSAA, yakni Anthony Salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), M. Hassan (BUN), Sudwikatmono (Bank Surya) dan Ibrahim Risyad (RSI). Para obligor tersebut telah menyelesaikan kewajibannya.

 

Karena itu, menurut Eko, perkara Syafruddin Arsjad Temenggung  tidak layak disidangkan. Apalagi pemerintah telah mengeluarkan surat release and discharge atau surat pembebasan dan pelepasan bagi obligor yang telah menyelesaikan seluruh kewajibannya.

 

Khusus untuk PKPS BDNI, BPK pada kesimpulan laporan auditnya 30 November 2006 menyatakan SKL layak diberikan karena pemegang saham BDNI karena telah menyelesaikan seluruh kewajiban yang disepakati dalam penjanjian MSAA, perubahannya serta telah sesuai dengan kebijakan Pemerintah dan Instruksi Presiden nomor 8/2002.

 

“Jangan sampai yang sudah kooperatif masih diseret-seret, sementara yang tidak kooperatif masih dengan lincahnya bermain-main,” ujarnya di Jakarta, Rabu (27/6).

 

Lebih jauh  Direktur Biro Riset Infobank ini menilai kebijakan PKPS melalui skema MSAA, MRNIA dan APU merupakan langkah pahit untuk menyelesaikan permasalahan BLBI. Namun kebijakan tersebut membuat sistem perbankan bisa berjalan kembali seperti sekarang ini.

 

“Jangan sampai penegakan hukum di negeri ini penuh ketidakpastian. Pahit memang pil dalam menyelesaikan krisis dengan BLBI ini, tapi itulah cara agar ekonomi bisa bergerak dan sistem perbankan bisa berjalan kembali sampai sekarang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahawa bantuan likuiditas yang diberikan Bank Indonesia mengalami penyimpangan penyaluran yang luar biasa. Penyimpangan ini melibatkan multi pihak dan multi dimensi. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan masalah BLBI. Namun langkah pemerintah terkesan lamban, kurang serius dan tidak tegas sehingga hasilnya masih sangat jauh dari yang diharapkan. Oleh karena itu di tengah kondisi pro dan kontra sebaiknya semua pihak duduk bersama dengan penuh kesadaran dan dedikasi yang tinggi untuk menyelesaikan masalah BLBI yang sebenarnya

 

Saran

Pemerintah harus serius menyelidiki atau menanganin kasus BLBI agar tidak terjadi simpang siur uang lari kemana.